Kenapa Podcast?

May 2, 2020

Gue, Ario, udah coba berbagai macam platform dari 2003! (tahun di mana sebagian pendengar di sini belum menyentuh smartphone mungkin). Perjalanan dimulai dari blog, ke media sosial seperti Friendster, Facebook, Twitter, Plurk, Path, you name it! Formatnya pun dari tulisan, gambar/foto, video hingga sekarang.. Podcast.

Disclaimer, gue gak bilang podcast itu format terbaik yaa.. Tapi hingga hari ini, format paling cocok buat Thirty Days of Lunch. Let me explain it to you why.

Video memang masih paling ramai. Video memberikan begitu banyak informasi dalam waktu yang sangat terbatas karena menghadirkan visual yang bergerak dan suara. Lengkap. Apalagi attention span banyak orang makin pendek.

Text, atau tulisan memang masih yang berukuran paling kecil. Akibatnya, selalu juara 1 yang sampai ke layar kaca lo.

Picture, yang katanya worth a thousand words, memang masih powerful. Instagram, salah satu media sosial terkuat saat ini juga berdasar pada gambar.

Tapi Audio saja, atau Podcast,.. Here we go.

Podcast mengkonstruksi Theater of Mind yang sama layaknya buku atau tulisan.

Podcast memiliki ukuran data yang lebih besar dari foto dan tulisan, namun masih jauh lebih kecil daripada video.

Podcast bisa menemani kegiatan pasif (berkendara, lari pagi, naik sepeda, jalan kaki, atau kegiatan yang sudah tinggal menggunakan muscle memory) lo, bahkan beberapa orang, kegiatan aktif (bekerja di kantor, contohnya), suatu hal yang kurang bisa dicapai video.

Podcast bisa terasa sangat intim. Karena pada dasarnya, behaviour seseorang mendengarkan Podcast adalah dengan menggunakan earphone tidak didengarkan beramai-ramai di tempat umum layaknya sebuah musik. Oleh karena itu,.. intim.

Podcast membahas hal yang layaknya  buku, dalam.

Thirty Days of Lunch saat ini lebih banyak dalam bentuk podcast karena alasan-alasan di atas. Selama ini kami masih berusaha menemukan format terbaik untuk video. Kami berusaha tidak kompromi dengan konten. Konten di atas segalanya. Yang terbaik versi kami untuk kalian.